hujan datang sebentar lagi...
Hujan datang sebentar lagi. Dan Setiap ia datang, kecemasan menghinggapiku. Kumohon pada hujan agar tak turun kelewat deras. Kuteriakkan keras-keras dalam hati. Kutengadahkan kepala tinggi-tinggi pada sudut final yang tak lagi tergapai ke arah langit.
Mohon engkau tak deras hari ini...
****
Aku suka hujan. Lebih suka lagi hujan dalam hutan. Ada butiran indah yang jatuh ke tanah setelah menampar dedaunan dan cabang di kanopi. Pepohonan seolah tersenyum, seakan berkata: Selamat datang... akhirnya datang juga.
Tapi keadaan bisa mengubah pribadi seseorang. Aku mulai tak suka hujan.
Angin deras ‘memekik’. Semua bergoyang digoncangnya. Debu-debu terbang bebas dijalan raya, naik sampai ke rumah-rumah. Atap seng sudah tak karuan, sebagian lepas tak lagi tertahan oleh paku reyot sekedarnya.
Air digot bergoyang
Rumah ini sedikit bergoyang
Mata ini perih kelilipan. Orang-orang berjalan memicing.
Kuulangi dalam hati. Sekarang lebih hikmad,
Mohon engkau tak deras hari ini...
****
Ah, hutan. Ah, hujan. Hujan akan selalu ada, entah hutan dimana.
Aku seperti seniman kata-kata. Padahal aku tak mau seperti mereka. Aku tak mau beronani dengan keindahan kata.
Mohon engkau tak deras hari ini...
****
Tik... tik... tik
Dikejauhan, hujan terdengar mendekat. Hari itu hujan turun sangat deras, dan lama, hampir lima jam. Banjir merendam separuh kota.
Malamnya ditelevisi ada berita,
“Hujan deras tadi siang menenggelamkan sebuah pemukiman kumuh dibantaran sungai musi. Sampai saat ini belum diketahui berapa jumlah kerugian yang diderita warga,
Pemerintah telah menurunkan beberapa tim untuk membantu evakuasi war---”
Hening.
Seseorang mematikan tv. Diluar mendung, hujan masih turun rintik-rintik. Ia berbaring nyaman dikursi malas yang berkilau setelah menandaskan sebungkus mie kuah instan yang diberi potongan-potongan sosis. “Dingin selalu bikin perut jadi lapar”, gumamnya pada diri sendiri sambil mengelus perut. Perutnya masih lapar.
Buru-buru ia beranjak dari kursi kulit made in italy itu menuju dapur. Semua orang sedang pergi. Tak ada yang bisa diandalkan untuk membuatkan makanan hangat untuknya.
Belum seberapa jauh melangkah, tiba-tiba handphonenya berdering. Sungkan-sungkanan, diraihnya. Ia menekan tombol loudspeaker.
Diseberang sana,
“Pak, tiga pemukiman kumuh porak poranda terseret banjir. Kita harus melakukan tindakan segera. Kalau tidak, akan berbahaya buat posisi anda.”
“Ya sudah, terserah kamu saja”
“Oke pak, tapi besok bapak siap untuk konferensi pers?
“Bisa. Dimana?”
“Dilokasi banjir”
Setengah hatinya menolak. Demi jabatan ia menyanggupi.
Tak ada lagi percakapan.
Tiba-tiba ia tak lapar lagi. Direbahkannya pantat di kursi mahal itu. Diraihnya remote yang tergeletak disebelahnya.
TV menyala, menyiarkan peristiwa banjir, tapi tak lama. Channel berganti film barat
“Untung saja punya TV berlangganan”
Hujan datang sebentar lagi. Dan Setiap ia datang, kecemasan menghinggapiku. Kumohon pada hujan agar tak turun kelewat deras. Kuteriakkan keras-keras dalam hati. Kutengadahkan kepala tinggi-tinggi pada sudut final yang tak lagi tergapai ke arah langit.
Mohon engkau tak deras hari ini...
****
Aku suka hujan. Lebih suka lagi hujan dalam hutan. Ada butiran indah yang jatuh ke tanah setelah menampar dedaunan dan cabang di kanopi. Pepohonan seolah tersenyum, seakan berkata: Selamat datang... akhirnya datang juga.
Tapi keadaan bisa mengubah pribadi seseorang. Aku mulai tak suka hujan.
Angin deras ‘memekik’. Semua bergoyang digoncangnya. Debu-debu terbang bebas dijalan raya, naik sampai ke rumah-rumah. Atap seng sudah tak karuan, sebagian lepas tak lagi tertahan oleh paku reyot sekedarnya.
Air digot bergoyang
Rumah ini sedikit bergoyang
Mata ini perih kelilipan. Orang-orang berjalan memicing.
Kuulangi dalam hati. Sekarang lebih hikmad,
Mohon engkau tak deras hari ini...
****
Ah, hutan. Ah, hujan. Hujan akan selalu ada, entah hutan dimana.
Aku seperti seniman kata-kata. Padahal aku tak mau seperti mereka. Aku tak mau beronani dengan keindahan kata.
Mohon engkau tak deras hari ini...
****
Tik... tik... tik
Dikejauhan, hujan terdengar mendekat. Hari itu hujan turun sangat deras, dan lama, hampir lima jam. Banjir merendam separuh kota.
Malamnya ditelevisi ada berita,
“Hujan deras tadi siang menenggelamkan sebuah pemukiman kumuh dibantaran sungai musi. Sampai saat ini belum diketahui berapa jumlah kerugian yang diderita warga,
Pemerintah telah menurunkan beberapa tim untuk membantu evakuasi war---”
Hening.
Seseorang mematikan tv. Diluar mendung, hujan masih turun rintik-rintik. Ia berbaring nyaman dikursi malas yang berkilau setelah menandaskan sebungkus mie kuah instan yang diberi potongan-potongan sosis. “Dingin selalu bikin perut jadi lapar”, gumamnya pada diri sendiri sambil mengelus perut. Perutnya masih lapar.
Buru-buru ia beranjak dari kursi kulit made in italy itu menuju dapur. Semua orang sedang pergi. Tak ada yang bisa diandalkan untuk membuatkan makanan hangat untuknya.
Belum seberapa jauh melangkah, tiba-tiba handphonenya berdering. Sungkan-sungkanan, diraihnya. Ia menekan tombol loudspeaker.
Diseberang sana,
“Pak, tiga pemukiman kumuh porak poranda terseret banjir. Kita harus melakukan tindakan segera. Kalau tidak, akan berbahaya buat posisi anda.”
“Ya sudah, terserah kamu saja”
“Oke pak, tapi besok bapak siap untuk konferensi pers?
“Bisa. Dimana?”
“Dilokasi banjir”
Setengah hatinya menolak. Demi jabatan ia menyanggupi.
Tak ada lagi percakapan.
Tiba-tiba ia tak lapar lagi. Direbahkannya pantat di kursi mahal itu. Diraihnya remote yang tergeletak disebelahnya.
TV menyala, menyiarkan peristiwa banjir, tapi tak lama. Channel berganti film barat
“Untung saja punya TV berlangganan”